Kayuagung, NUSALY.COM – Hutan Kota Kayuagung, yang diharapkan menjadi oasis hijau di tengah hiruk-pikuk kota, kini kembali menjadi arena sengketa lahan yang memanas. Husin, seorang wiraswasta, menjadi warga terbaru yang berani melawan Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (Pemkab OKI) untuk mempertahankan haknya atas tanah yang ia beli secara sah, namun tiba-tiba diklaim sebagai bagian dari Hutan Kota.
“Klien kami merasa sangat dirugikan. Tanah yang ia beli secara sah dari Al Amin, anak dari Ahmad Zaini bin Sidik, tiba-tiba diambil alih tanpa adanya pemberitahuan atau kompensasi yang layak,” ujar kuasa hukum Husin, Muhammad Rusdi Kurniawan, S.H, Kamis (19/9) menegaskan bahwa tindakan Pemkab OKI ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Muhammad Rusdi Kurniawan, S.H juga menambahkan bahwa Al Amin kepada kliennya telah menegaskan bahwa lahan tersebut adalah milik keluarga mereka secara turun-temurun dan belum pernah diperjualbelikan sebelumnya, sehingga klaim Pemkab OKI atas lahan tersebut sangatlah tidak berdasar.
Keyakinan Husin dan Pemasangan Plang yang Janggal
Husin berani membeli lahan tersebut karena tidak ada tanda-tanda bahwa lahan tersebut adalah bagian dari hutan kota. Pihak ahli waris juga memiliki dokumen kepemilikan yang lengkap. Namun, situasi berubah drastis setelah sidang lapangan atau pemeriksaan setempat terkait gugatan ahli waris H. Jalil yang digelar PN Kayuagung pada 9 September 2024 lalu. Pemkab OKI, melalui Kejari OKI, tiba-tiba memasang plang kepemilikan lahan di lokasi tersebut.
Tindakan ini menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan besar. Mengapa plang kepemilikan baru dipasang setelah adanya gugatan dari warga? Apakah ini merupakan upaya Pemkab OKI untuk memperkuat klaim mereka atas lahan yang disengketakan?
Jejak Panjang Sengketa dan Tuntutan Keadilan
Kasus Husin bukanlah yang pertama. Ahli waris H. Jalil juga tengah berjuang melalui jalur hukum untuk mendapatkan kembali hak mereka atas lahan yang serupa nasibnya. Sejak tahun 2011, Pemkab OKI menetapkan sejumlah lahan warga sebagai bagian dari Hutan Kota berdasarkan Surat Keputusan Bupati OKI Nomor: 66/KEP/D.KEHUT/2011.
Keputusan ini memicu gelombang protes dari warga yang merasa hak mereka dirampas. Mereka tidak pernah diajak bermusyawarah, apalagi diberikan kompensasi yang adil. Bagi mereka, Hutan Kota justru menjadi simbol kesewenang-wenangan pemerintah.
Dalam gugatannya, Husin menuntut agar pengadilan mengakui kepemilikannya atas lahan tersebut, menyatakan tindakan Pemkab OKI sebagai perbuatan melawan hukum, dan memerintahkan para tergugat untuk mengosongkan lahan serta membayar ganti rugi materiil dan immateriil. Gugatan ini semakin memperkeruh konflik yang sudah ada, menambah daftar panjang sengketa lahan yang belum terselesaikan di Hutan Kota Kayuagung.
Sidang Perdana: Asa di Tengah Ketidakpastian
Sidang perdana gugatan Husin dijadwalkan akan digelar pada Senin, 30 September 2024 pukul 13:00 WIB di Pengadilan Negeri Kayuagung. Sidang ini menjadi tumpuan harapan bagi Husin, ahli waris H. Jalil, dan warga lainnya yang bernasib serupa untuk mendapatkan keadilan.
“Kami berharap pengadilan dapat melihat fakta-fakta yang ada dan memberikan keputusan yang adil,” ujar Muhammad Rusdi Kurniawan. “Keadilan harus ditegakkan, bukan hanya untuk klien kami, tetapi juga untuk semua warga yang haknya dirampas.” imbuhnya.
Hutan Kota yang Rapuh: Ketika Tata Kelola Bermasalah
Di balik konflik yang memanas, terungkap fakta bahwa Hutan Kota Kayuagung berdiri di atas fondasi yang rapuh. Penelusuran Nusaly menemukan sejumlah masalah dalam tata kelola hutan kota ini:
- Peta Penunjukkan Lahan yang Tidak Memadai: Peta yang digunakan untuk menetapkan lahan hutan kota masih berupa peta manual berdasarkan SK Bupati. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan batas-batas lahan dan potensi tumpang tindih kepemilikan, seperti yang dialami Husin dan ahli waris H. Jalil.
- Minimnya Pengamanan: Lahan hutan kota saat ini tidak memiliki pengamanan yang memadai, membuatnya rentan terhadap perambahan dan pemanfaatan ilegal. Hal ini tentu saja berdampak pada kelestarian hutan dan fungsi ekologisnya.
- Berkas Kepemilikan dan Ganti Rugi Tidak Lengkap: Proses akuisisi lahan untuk hutan kota tampaknya dilakukan dengan tergesa-gesa dan tidak transparan. Banyak berkas kepemilikan dan ganti rugi yang belum lengkap, menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan klaim pemerintah atas lahan tersebut.
- Status Aset yang Belum Jelas: Ironisnya, meskipun telah ditetapkan sebagai hutan kota sejak 2011, lahan tersebut belum terdaftar sebagai aset Pemkab OKI. Hal ini semakin memperkeruh situasi dan menambah ketidakpastian bagi warga yang lahannya terdampak.
Merajut Kembali Harapan di Tengah Konflik
Konflik lahan di Hutan Kota Kayuagung bukan hanya tentang perebutan tanah. Ini adalah tentang perjuangan warga untuk mempertahankan hak mereka, tentang mimpi mereka yang terenggut, dan tentang harapan mereka akan keadilan. Selain itu, kasus ini juga menyoroti pentingnya tata kelola lahan yang transparan dan akuntabel, terutama dalam konteks pengelolaan hutan kota yang seharusnya memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
Nusaly akan terus mengikuti perkembangan kasus ini dan menyuarakan perjuangan Husin, ahli waris H. Jalil, dan warga lainnya yang mencari keadilan. (dhi)