Palembang, Nusaly.com – Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel) menahan seorang oknum notaris berinisial EM terkait dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) penjualan aset Yayasan Batanghari Sembilan berupa asrama mahasiswa di Jalan Puntodewo Yogyakarta.
Penahanan EM dilakukan pada Jumat (19/4/2024) berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-1715/L.6.10/Ft.1/04/2024 tanggal 19 April 2024 untuk 20 hari ke depan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA Palembang.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumsel, Vanny Yulia Eka Sari, menjelaskan bahwa EM berperan membuat akta 97 dengan memalsukan aset yayasan. Akta tersebut kemudian digunakan oleh tersangka lain, MR dan ZT, untuk menjual asrama mahasiswa di Yogyakarta.
“EM melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana,” jelas Vanny, Jumat (19/4/2024).
Baca juga : Mantan Ketua KONI Sumsel Ditahan Kejati Atas Dugaan Korupsi Dana Hibah
Vanny menambahkan, modus operandi dalam kasus ini adalah dengan memalsukan aset yayasan menjadi milik yayasan lain. Akta palsu tersebut kemudian digunakan untuk melakukan transaksi penjualan aset.
Penahanan EM dilakukan untuk mencegah tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
Setelah Tahap II (Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti) selesai, penanganan perkara akan beralih ke Penuntut Umum (Kejaksaan Negeri Palembang). Penuntut Umum selanjutnya akan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas 1A Palembang.
Kasus ini menjadi pengingat bagi para notaris untuk selalu menjalankan tugasnya dengan profesional dan berhati-hati. Tindakan korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat luas. Oleh karena itu, penting bagi aparat penegak hukum untuk menindak tegas para pelaku korupsi. (dhi/InSan)