Headline

SDN 11 Kayuagung: Potret ‘Kematian Perlahan’ Sekolah Negeri di Sarang ‘Jalur Siluman’ Pendidikan OKI

Tragis! SDN 11 Kayuagung hanya menjaring 4 siswa baru di 2025/2026, memperparah kemerosotan jumlah siswa hingga kini tersisa 28 orang. Investigasi NUSALY mengungkap, lambannya intervensi Dinas Pendidikan dan maraknya praktik 'siasat licin' PPDB oleh oknum masyarakat—termasuk penyalahgunaan jalur zonasi kerja PNS—secara sistematis 'mematikan' satu-satunya sekolah dasar di Kelurahan Mangun Jaya ini.

SDN 11 Kayuagung: Potret 'Kematian Perlahan' Sekolah Negeri di Sarang 'Jalur Siluman' Pendidikan OKI
SDN 11 Kayuagung: Potret 'Kematian Perlahan' Sekolah Negeri di Sarang 'Jalur Siluman' Pendidikan OKI. Foto: Dok. Nusaly.com

OGAN KOMERING ILIR, NUSALY — Di jantung ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), sebuah ironi menyayat: SDN 11 Kayuagung, yang seharusnya menjadi garda terdepan pendidikan, kini seolah ditinggalkan. Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pada semester genap tahun ajaran 2024/2025 telah mengungkap fakta memilukan dengan hanya 27 siswa tersisa. Namun, rapor merah itu makin pekat. Informasi terbaru dari SUMEKS.CO menunjukkan, pada tahun ajaran baru 2025/2026, SDN 11 Kayuagung hanya menerima 4 siswa baru, menjadikan total siswa aktif saat ini menjadi 28 orang. Angka ini tak sekadar statistik; ini adalah lonceng tanda bahaya, cerminan kegagalan sistemik yang melanggengkan ‘kematian perlahan’ sekolah negeri di tengah janji pemerataan pendidikan.

Situasi kritis ini bukan cerita baru. Sejak 2023, media ini telah menyoroti problematikanya, bahkan mendapat pengakuan dari pihak Dinas Pendidikan dan kepala sekolah. Namun, dua tahun berlalu, alih-alih membaik, jumlah siswa justru terus merosot tajam. Pertanyaan besar yang menggantung adalah: mengapa masalah fundamental ini dibiarkan membusuk tanpa intervensi berarti, seolah ada tangan tak terlihat yang membiarkannya mati suri?

Anomali di Jantung Kota: Ketika ‘Sekolah Kompleks’ Menguras Asa Mangun Jaya

SDN 11 Kayuagung memiliki posisi yang unik dan seharusnya menguntungkan. Sekolah ini adalah satu-satunya Sekolah Dasar Negeri yang berada di Kelurahan Mangun Jaya, Kecamatan Kayuagung. Secara logis, berdasarkan sistem zonasi yang diusung pemerintah, SDN 11 Kayuagung seharusnya menjadi pilihan utama, bahkan wajib, bagi anak-anak usia sekolah dasar yang tinggal di kelurahan tersebut.

Namun, realitas di lapangan berkata lain. Jumlah 28 siswa yang terdata saat ini—dengan hanya 4 siswa baru di tahun ajaran 2025/2026—sangat jauh dari kapasitas ideal sebuah sekolah dasar. Kontrasnya mencolok: sekolah-sekolah di kelurahan tetangga, seperti SD Kompleks di Kelurahan Cinta Raja dan SDN 14 Kayuagung di Kelurahan Paku, justru tetap ramai peminat, bahkan berpotensi kelebihan kapasitas.

Ironisnya, jarak antar kelurahan di Kayuagung ini tidak berjauhan. Dari Kelurahan Mangun Jaya ke Kelurahan Cinta Raja atau Paku, dapat ditempuh hanya dalam waktu kurang dari 10 menit dengan sepeda motor. Kepala Sekolah SDN 11 Kayuagung, Sopiah Bamawati SPd, seperti dikutip dari SUMEKS.CO (15/7/2025), membenarkan ini.

“Para orang tua selalu lebih memilih sekolah kompleks. Di sana ada 5 sekolah jadi tinggal pilih,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa jarak yang terasa dekat dengan kendaraan membuat orang tua cenderung memilih sekolah di kompleks.

Fakta ini secara telanjang mematahkan dalih geografis sebagai penyebab sepinya siswa di SDN 11. Ini justru memperkuat indikasi bahwa perpindahan siswa dari Mangun Jaya ke kelurahan lain bukan karena kendala jarak, melainkan murni akibat praktik “siasat licin” yang memanfaatkan kelonggaran pengawasan. Orang tua, kata Sopiah, beralasan ingin anaknya sekolah di tempat yang ramai. Sebuah ironi, karena keramaian itu justru menggerogoti eksistensi sekolah negeri lain di zona yang sama.

Mengurai Akar Masalah: Ketika ‘Siasat Licin’ PPDB Bersemi, Termasuk Jalur ‘Orang Dalam’ PNS

Analisis Dinas Pendidikan OKI pada 2023, melalui Kepala Bidang SD Tarmudik, memang menunjukkan adanya pemahaman awal terhadap masalah. Ia menyebut rasio sekolah yang “terlalu gemuk” di Kayuagung (19 SD Negeri dan 7 swasta) sebagai salah satu biang keladi minimnya siswa. “Memang sudah sepuluh tahunan siswa di sekolah tersebut tidak lagi ramai,” aku Tarmudik kala itu, Selasa (5/9/2023), merujuk pada tren penurunan panjang.

Selain itu, ia juga menyoroti pergeseran minat orang tua ke sekolah-sekolah swasta seperti Islam Terpadu (IT), sekolah alam, dan sekolah peradaban, yang menawarkan kualitas lebih dan program tambahan seperti hafalan Al-Qur’an dengan biaya terjangkau berkat dana BOS. Dalih urbanisasi—yakni kepindahan anak-anak lulusan SMA/kuliah ke luar daerah yang kemudian menetap dan menyekolahkan anak di sana—juga sempat ia sampaikan sebagai penyebab penduduk desa semakin sepi.

Namun, penjelasan Disdik OKI ini terasa parsial dan mengabaikan gajah di ruangan: maraknya praktik “siasat licinPPDB di Kayuagung itu sendiri. Investigasi Nusaly, sejalan dengan temuan di daerah lain, menemukan indikasi kuat bahwa praktik manipulasi data zonasi atau ‘titipan’ dalam PPDB bukan lagi rahasia umum di Kayuagung. Kepala Sekolah Sopiah secara eksplisit juga mengetahui fenomena ini. Ia menyatakan, “pihaknya juga mengetahui adanya praktik manipulasi domisili oleh sebagian wali murid yang ingin anaknya bisa bersekolah di SD kompleks.”

Tak hanya itu, investigasi Nusaly juga menemukan indikasi lain yang lebih mengkhawatirkan: adanya oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemkab OKI yang diduga memanfaatkan jalur zonasi kerja orang tua. Modus ini memungkinkan mereka mendaftarkan anak di sekolah-sekolah favorit seperti di SDN 14 Kayuagung, meskipun domisili sebenarnya masih di kecamatan Kayuagung—hanya berbeda kelurahan—dan mereka biasa bekerja pulang-pergi dari kediaman aslinya. Praktik ini secara jelas menyalahi semangat sistem zonasi yang berbasis kedekatan tempat tinggal. Keterlibatan PNS dalam praktik ini bukan hanya sekadar kelalaian, tetapi berpotensi menjadi bukti adanya penyalahgunaan wewenang dan celah birokrasi yang secara sistematis memperlebar kesenjangan dalam PPDB.

Orang tua, demi memperebutkan kursi di sekolah-sekolah favorit seperti di SD “kompleks” dan SDN 14 Kayuagung yang dianggap lebih favorit, rela menempuh berbagai cara curang. Keberadaan SD “kompleks” dan SDN 14 yang disebut-sebut tersebut justru menjadi magnet penguras siswa dari sekolah lain yang seharusnya berada dalam zona mereka—sebuah efek samping dari sistem zonasi yang gagal diawasi.

Lalu, mengapa Dinas Pendidikan seolah tak berdaya mengidentifikasi dan menindak “jalur siluman” lokal ini yang secara nyata ‘membunuh’ satu-satunya sekolah di Kelurahan Mangun Jaya? Apakah sistem verifikasi lapangan mereka tidak berjalan optimal, ataukah ada pembiaran terhadap praktik yang merugikan ini?

Perjuangan di Garis Depan: Ketika Mimpi Pendidikan Berhadapan dengan Realitas Pahit

Perjuangan di Garis Depan: Ketika Mimpi Pendidikan Berhadapan dengan Realitas Pahit. Foto: Dok. Niskiah/Sumeks.co

Di tengah carut-marut sistem ini, para guru dan kepala sekolah di SDN 11 Kayuagung terus berjuang di garis depan. Ibu Sopiah Bamawati SPd, Kepala Sekolah yang baru menjabat, mewarisi beban berat ini. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa sekolah yang ia pimpin memiliki rasio guru-siswa yang sangat timpang. Dengan total 28 siswa (termasuk 4 siswa baru di Kelas 1, 4 siswa di Kelas 2, 2 siswa di Kelas 3, 5 siswa di Kelas 4, 5 siswa di Kelas 5, dan 4 siswa di Kelas 6) dan 11 orang guru atau tenaga pendidik termasuk dirinya, beban pengajaran menjadi sangat tidak efisien.

Kepala sekolah sebelumnya, Rahmawati, mencoba melihat sisi positif dengan menyatakan “belajar dengan siswa sedikit justru malah lebih efektif, karena siswa fokus dan diajari satu-satu,” dan menerapkan metode pembelajaran privat dengan Kurikulum Merdeka. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar. Bagaimana sosialisasi antar siswa bisa optimal jika jumlah mereka sangat terbatas? Bagaimana program ekstrakurikuler yang membutuhkan jumlah peserta bisa berjalan? Dan bagaimana nasib para guru honorer yang jam mengajarnya mungkin terbatas, bahkan terancam oleh wacana ‘ruping‘ (penggabungan sekolah) yang disuarakan Disdik?

Upaya ‘jemput bola‘ ke rumah-rumah warga hingga pembagian bantuan seragam gratis oleh pihak sekolah, seperti yang diungkap Ibu Sopiah, telah dilakukan. “Kami sudah datangi rumah-rumah calon siswa. Kami jelaskan fasilitas dan keunggulan sekolah. Tapi orang tua bilang, mereka ingin anaknya sekolah di tempat yang ramai. Itu alasannya,” beber Sopiah seperti dikutip dari SUMEKS.CO. Keluhan ini menggarisbawahi bahwa masalah ini sudah melampaui kemampuan sekolah untuk menyelesaikannya sendiri; ia membutuhkan intervensi sistemik dan tegas dari pembuat kebijakan. Tanpa perhatian serius dari pemerintah daerah, semangat para pendidik di garis depan ini terancam padam.

Tanggung Jawab yang Terabaikan: Apatisme Kebijakan di Tengah Krisis yang Mematikan

Data terbaru tahun 2025, dengan hanya 4 siswa baru, adalah bukti paling nyata bahwa analisis Disdik OKI di 2023 belum berujung pada tindakan yang efektif. Jika Dinas Pendidikan mengetahui masalah kelebihan rasio sekolah dan persaingan tidak sehat, ditambah dengan indikasi kuat praktik ‘siasat licin‘ PPDB di lapangan yang dikonfirmasi langsung oleh kepala sekolah—serta temuan media ini mengenai modus jalur zonasi kerja PNS—mengapa tidak ada langkah proaktif yang masif dan terukur untuk merelokasi guru, merombak zonasi secara fundamental, atau bahkan mengambil keputusan sulit tentang ‘ruping‘ yang konsisten dan terukur?

Dalih urbanisasi, yang disampaikan Tarmudik, terasa semakin mengada-ada dan tidak relevan ketika fakta di lapangan menunjukkan bahwa sekolah-sekolah lain di Kayuagung tetap kebanjiran siswa, seringkali dengan dugaan ‘siasat licin’ dan penyalahgunaan jalur zonasi yang luput dari pengawasan. Apakah Disdik OKI justru gagal mengunci ‘pintu belakang‘ PPDB ini, sehingga sekolah-sekolah seperti SDN 11 Kayuagung terus menjadi korban dari sistem yang tidak adil?

Kepala Sekolah Sopiah sendiri telah berulang kali menyuarakan kekhawatiran ini. “Pihak kami atas sepinya siswa setiap tahun sudah sampaikan ke pengawas, juga ke Pak Tarmudik, Kabid SD. Katanya mau turun, tapi sampai sekarang kami belum tahu apakah mereka sudah turun atau belum,” terang Sopiah, menyoroti lambannya respons dari Disdik.

Wacana ‘ruping’ atau penggabungan sekolah, yang pernah dilontarkan Tarmudik, juga belum menunjukkan kemajuan berarti. Dua tahun kemudian, kajian itu seolah berjalan di tempat, sementara SDN 11 Kayuagung terus ‘berdarah’. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang prioritas dan komitmen Disdik OKI terhadap pemerataan kualitas pendidikan.

Kasus SDN 11 Kayuagung adalah tamparan keras bagi komitmen pemerintah daerah terhadap pemerataan kualitas pendidikan. Ini bukan hanya soal bangunan fisik atau angka-angka di atas kertas, melainkan tentang hak setiap anak di Kayuagung untuk mendapatkan lingkungan belajar yang kondusif dan masa depan yang terjamin, bebas dari dampak ‘siasat licin’ dan kelalaian sistem.

Publik dan orang tua di Kayuagung tidak hanya menanti analisis, tetapi menuntut akuntabilitas dan solusi konkret. Kapan Dinas Pendidikan OKI akan berhenti mengamati dan mulai bertindak tegas? Apa rencana strategis mereka untuk memastikan bahwa hak setiap anak atas pendidikan berkualitas di Kayuagung tidak lagi terpinggirkan oleh celah sistem atau praktik ‘jalur siluman‘? Masyarakat menuntut jawaban yang tak lagi ‘mengada-ada’, melainkan aksi nyata yang menghidupkan kembali roh pendidikan di ibu kota Kabupaten. (dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Exit mobile version