JAKARTA, NUSALY — Di penghujung November 2025, puluhan jurnalis dari berbagai penjuru nusantara berkumpul di Jakarta. Agenda mereka bukan sekadar meliput perkembangan harian, melainkan mempertajam logika dan pena untuk menelusuri isu mendesak: ke mana mengalirnya uang dalam transisi energi Indonesia dan siapa yang menanggung bebannya.
Workshop kolaboratif yang diselenggarakan Ekuatorial.com, The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), dan Responsibank ini secara jelas menargetkan satu fokus: membekali jurnalis dengan kacamata investigasi untuk memantau akuntabilitas lembaga keuangan di balik proyek energi dan industri ekstraktif.
Dimensi Keadilan di Balik Kilau Nikel
Dekarbonisasi industri, khususnya nikel sebagai primadona baterai kendaraan listrik, seringkali mengabaikan prinsip keadilan. Dwi Rahayu Ningrum dari The PRAKARSA menyingkap sisi gelap hilirisasi yang digembar-gemborkan.
“Negara wajib memastikan distribusi manfaat dan beban yang adil. Penggunaan royalti nikel tidak boleh hanya untuk mensubsidi industri, tetapi harus diprioritaskan untuk memulihkan kerugian ekonomi warga,” tegas Dwi, Minggu (30/11/2025).
Ia memaparkan bagaimana kelompok rentan seperti masyarakat adat dan perempuan kerap menjadi pihak yang menanggung beban terbesar. Ia menekankan perlunya jaminan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) untuk memastikan proyek nikel menghormati hak komunitas lokal.
Melengkapi perspektif makro, Rani Septyarini dari CELIOS membedah peta jalan transisi energi. Ia menyoroti konsep keuangan berkelanjutan yang seharusnya menjadi “darah” bagi pembangunan yang tidak merusak masa depan.
“Uang tetap bekerja seperti biasa, tapi diarahkan ke hal-hal yang tidak merusak masa depan,” ujar Rani.
Ia memperkenalkan instrumen seperti Green Bonds dan Sustainability-Linked Loans, namun memperingatkan jurnalis agar kritis terhadap jebakan “greenwashing”—apakah label “hijau” ini benar-benar berdampak, atau sekadar kosmetik laporan keuangan.
Melacak Pembiayaan: Mitos Netralitas Bank
Untuk menembus kompleksitas ini, jurnalis memerlukan “kotak perkakas” investigasi yang memadai.
Sesi yang dibawakan Zakki Amali, Research Manager di Trend Asia, berfokus pada teknik “Follow The Money” untuk menelusuri struktur perusahaan dan rantai pasok yang sengaja dibuat rumit. Ia mendemonstrasikan cara membedah aktor pembiayaan—mulai dari Development Financial Institutions (DFI) hingga Sovereign Wealth Funds (SWF)—dan bagaimana menggunakan penelusuran dokumen publik untuk menemukan hubungan tersembunyi.
Penelusuran ini menjadi krusial, sebab seperti yang ditegaskan Linda Rosalina dari TuK Indonesia, netralitas bank adalah mitos.
“Bank di Indonesia, utamanya Bank BUMN, menjadi kreditor terbesar dalam memfasilitasi kerusakan lingkungan. Ironinya, keuntungan dari kerusakan itu justru kembali ke pemegang saham di negeri asalnya, bukan di Indonesia,” ungkap Linda.
Ia mengajak jurnalis untuk berpihak pada data dan realitas kerusakan lingkungan, menyoroti jejaring pembiayaan yang mengalir ke perusahaan yang disorot.
Suara Lapangan: Amunisi Baru dari Halmahera hingga Sukabumi
Bagi para jurnalis lapangan, materi ini adalah amunisi baru untuk melawan ketertutupan data. Isu-isu sistemik dari Jakarta kini memiliki konteks lokal yang kuat.
Rabul Sawal, jurnalis dari Halmahera Timur, wilayah episentrum nikel, merasa mendapatkan “kacamata baru”. “Selama ini kami melihat lubang tambang dan sungai yang keruh, tapi workshop ini memberi kami kacamata baru untuk melihat siapa sebenarnya yang membiayai kerusakan di halaman rumah kami,” ungkapnya.
Hal serupa dirasakan Rosniawanti Fikry (Sulawesi Tenggara) dan Hendra (Bangka Pos), yang menyepakati pentingnya metodologi riset keuangan. “Penjelasan tentang taksonomi hijau dan tanggung jawab perbankan membuat saya paham bagaimana mendudukkan isu lokal kami dalam konteks kebijakan nasional,” ujar Hendra, Ketua AJI Pangkalpinang.
Octa Haerawati Nur Fauziah (sukabumiupdate.com) menyoroti relevansi isu ini bagi wilayah Jawa Barat yang kaya potensi energi terbarukan namun rawan konflik lahan. “Apakah investasi hijau ini benar-benar menyejahterakan warga lokal atau justru meminggirkan mereka? Bekal ‘follow the money’ hari ini sangat krusial untuk menjawab itu,” ujarnya.
CEO Ekuatorial.com, Asep Saefullah, menutup diskusi dengan menegaskan luaran dari kegiatan ini adalah aksi nyata, yang akan melibatkan 20 jurnalis dalam reportase mendalam dan kolaboratif. Dengan semangat ini, workshop dua hari tersebut ditutup, membawa kesadaran bahwa isu keuangan berkelanjutan bukan lagi sekadar angka di laporan tahunan bank.
Di tangan para jurnalis ini, isu tersebut telah bertransformasi menjadi amanat untuk menjaga nasib manusia dan alam—sebuah kontrak sosial yang harus dipertanggungjawabkan kepada komunitas lokal, khususnya perempuan, di berbagai daerah yang terdampak langsung transisi energi. ***
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


